Padahal, jika mencermati dari isi
‘kampanye’ kedua penguasa itu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
sejahtera. Soeharto-SBY sama-sama tidak sadar, jika suatu negara ingin
adil-sejahtera perlu membangun kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) terlebih
dahulu sebagai anggota masyarakat yang kelak mengelola Sumber Daya Alam (SDA).
Keduanya sama-sama lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur daripada
membangun manusia-manusia-nya. Sehingga SDM yang muncul kemudian berkualitas
rendah.
SDA yang mencakup dari hasil bumi,
air, ruang angkasa dan kekayaan agraria yang terdapat di dalamnya perlu dijamah
tangan-tangan SDM berpengalaman untuk mengelola SDA tadi menjadi sumber
pengahasilan tepat guna buat ekonomi negara. Karena negara luas dan SDA terbaik
perlu memiliki SDM terampil mengembangkan apa yang dihasilkan bumi. Dan semua dari
hasil agraria itu kemudian kemanfaatannya akan dikembalikan kepada negara untuk
mensejahterakan rakyat Indonesia.
Dengan alasan itu, reformasi
agraria yang seutuhnya diharapkan para penduduk bangsa ini sangat diperlukan.
Di mana reformasi agraria merujuk pada distribusi ulang lahan pertanian atas
prakarsa atau dukungan pemerintah. Atau reformasi agraria tersebut merujuk pada
peralihan sistem agraria suatu negara secara keseluruhan, yang sering kali juga
meliputi reformasi pertanahan. Karena reformasi agraria mencakup kebijakan
dalam penyatuan tanah, bidang kredit, penyuluhan, pelatihan, dan lain
sebagainya.
Sedikit kembali melihat Indonesia di masa kerajaan, kala itu
yang paling banyak menikmati hasil agraria adalah raja, keluarga raja dan
kronikroninya. Sedangkan kepentingan rakyat tani khususnya nampak disepelekan
kepentingan oleh raja. Di era penjajahan, yang paling banyak menikmati hasil
agraria para penjajah dan antek-antek pemerintahan penjajah. Karena politik agraria
yang ada kala itu adalah politik ganda yang tidak pernah berpihak pada
kesejahteraan rakyat yang dijajahnya.
Pada masa kemerdekaan pun, politik
agraria juga belum berpihak pada rakyat. Sehingga rakyat perlu bersabar selama
belasan tahun mewujudkan sebuah UU sebagai jelmaan politik agraria nasional.
Tepatnya 24 September 1960 keluar peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Diundangkannya UUPA itu sebagai tonggak utama dalam membangun proses hukum
Reformasi Agraria Nasional di Indonesia.
Kala UUPA tersebut lahir, dalam
pelaksanaanya banyak hambatan yang harus dilalui, termasuk hadangan pro-kontra
substansialnya atas kecurigaan terhadap penyusupan paham komunis pada aturan
itu. Dampaknya, undang-undang agraria itu berjalan singkat. Pihak yang
mengklaim bahwa UUPA itu ada upaya dari pemahaman komunis di dalamnya, mereka
belum paham bahwa landreform pertama
kali dipopulerkan di negara Amerika Serikat, diikuti Jepang, Taiwan dan Korea
Selatan.
Ahli Tanah dari New York, Wlf
Ladeijensy, ditugaskan untuk melancarkan kebijakan pembagian tanah guna
menangkal pengaruh komunisme. Namun saat diundang oleh Presiden Soekarno untuk
membantu melakukan program serupa di Indonesia, Ladeijensky berpendapat program
landreform ini akan gagal di
Indonesia. Itu karena minimnya pemerintah yang dapat digunakan membeli
tanah-tanah luas yang akan dibagikan. Selain itu, setelah kunjungannya yang
pertama (1961) beliau mengatakan bahwa keadaan tanah di jawa yang langkah dan
penduduk yang banyak maka ketentuan luas maksimun tidak memungkinkan tersedianya
tanah yang cukup untuk dibagikan (Prof Erman Rajagukguk, SH, LLM, PhD, 1985;323).
Sejak awal pelaksanaan landreform sekitar 1961 sampai 2002
setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hak tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga
petani yang tersebar di seluruh Indonesia. Itu adanya administrasi pertanahan
yang tidak sempurna. Hal ini mengakibatkan luas tanah obyek landreform yang akan dibagikan menjadi
tidak tepat. Kelemahan ini sangat rawan dan membuka peluang bagi penyimpangan
dan penyelewengan (Kompas,13 Mei 2002).
Walinsky pernah mengatakan bahwa
reformasi agraria sebagai permasalahan yang belum selesai (Gunawan Wiradi, 2000:36).
Sedangkan Bank Dunia menyimpulkan setelah mengevaluasi permasalahan reformasi
agraria dengan pendekatan lima dimensi dari berbagai belahan dunia. Pertama, harga dan liberalisasi pasar, kedua, reformasi pertanahan (termasuk
pengembangan pasar pertanahan), ketiga,
saluran pasokan atas pengolahan hasil dan input pertanian, keempat, keuangan pedesaan,
kelima, institusi pasar. Kelima dimensi ini
menjadi perhatian utama para aktivis yang mendorong terjadinya reformasi
agraria di sebuah negara.
Di antaranya permasalah itu, kepastian
penguasaan lahan buat para buruh tani, buruh penyewa, penghuni lahan, serta
petani penyewa. Dilaksanakannya program landreform
di sebuah negara untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para
penggarap petani, sebagai landasan atau prasyarat guna menyelenggarakan
pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
(Sudargo Gautama, 1990:23).
Karena itu, jika ingin wujudkan
masyarakat adil dan makmur kita perlu belajar mengelola konflik agraria dari
zaman ke zaman dari sejarah panjang dunia lainnya. Pengalaman sejarah dunia itu
banyak mengajarkan kita bahwa ketidak-seimbangan pemilikan tanah yang paling
terbanyak menyulut api permasalahan dan akar menyengsarakan rakyat tani. Sedangkan
penyebab terjadinya kesejahterahan rakyat tani bersumber karena adanya
pemerataan pemilikan dan penguasaan agraria sebuah negara.
Yunani Kuno sebagai negara pioner
yang melakukan reformasi agraria kemudian diikuti oleh Romawi Kuno. Berlanjut
pula pada negara eropa seperti Inggris, Preancis, juga Rusia. Mereka
menyuarakan reformasi agraria untuk mencegah kaum bangsawan dengan fasilitas
yang dimilikinya guna menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Di sisi lain,
rakyat kecil tidak memiliki keseimbangan atas kepemilikan tanah. Khususnya
rakyat kecil sebagai petani yang memiliki lahan terbatas.
Tepatnya Juni 1979 di Roma berlangsung konferensi
dunia oleh FAO (Food and Agriculture
Organisation) pada reformasi agraria dan pembangunan pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and
Rural developent). Konfrensi ini berlangsung sukses yang kemudian merupakan
tonggak sejarah penting memperjuangkan perlawanan kaum miskin berkelaparan. Konferensi
itu juga berhasil merumuskan deklarasi prinsip-prinsip dan program kegiatan (decleration of principles and Programme of
Action) yang kemudian dikenal dengan piagam petani (the Peasants’ charter).
Bila ditarik ke Indonesia sebagai
salah satu perserta konfrensi kala itu, kita terinspirasi dengan pertemuan
tersebut untuk membenahi persoalan pertanahan dalam negari. Maka lahirlah pembaruan
aturan di bidang agraria. Tepatnya 1960-an pengaturan agraria Indonesia di
mulai dengal lahirnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya diikuti beberapa
Undang-undang seperti No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), Perpu No. 1/1960 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No 1/1961
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Untuk aturan pelaksanaannya dikeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Namun Indonesia setelah 40 tahun
lebih berlakunya UUPA, program landreform
dalam pelaksanaannya belum menampakkan hasil bahkan program ini terpinggirkan
posisinya dalam kebijakan pembangunan nasional. Pergantian pememerintahan silih
berganti dari orde lama ke orde baru kemudian reformasi tidak memberikan
pengubahan wajah dari pelaksanaan program landreform. Awal era reformasi ada angin segar mengembalikan
program landreform ini dengan
dikeluarkannya Keppres No. 48/1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan
Peraturan. Tapi itu lagi-lagi sebatas harapan yang hanya tertulis di kertas, diundang-undangkan
saja. Pelaksanannya belum memberikan angin segara bagi rakyat tani yang
terpinggirkan.
Tepatnya Hari Agraria Nasional dan
Bulan Bhakti Agraria ke-52 tahun 2012 lalu, sebagai tanda bahwa pemerintah SBY
belum mampu melaksanakan program landreform.
Hambatan utama pelaksanaan landreform
saat ini, lemahnya kemauan politik penguasa karena lebih mengejar pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Dan SBY lebih mengejar pola komunikasi politik pencitraan.
Sehingga kebijakan pemerintah kurang memberikan keberpihakkan pada masyarakat petani
yang memang membutuhkan tanah yang juga dikenal memiliki ekonomi lemah.
Menurut Maria W Soemarjono,
persoalan agraria semacam ini karena pemerintah tak pernah menjadikan tanah
sebagai acuan pembentukan strategis pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering
terhambat secara politis oleh penguasa.
Pergantian penguasa silih berganti satu per satu, hingga rezim SBY dalam
pemerintahannya tidak memberi perubahan signifikan tata pelaksanaan landreform Indonesia.
Saat ini, persoalan pertanahan
nasional semakin menumpuk. Persoalan satu belum juga usai, kemudian datang
persoalan tanah selanjutnya. Pemerintah belum mengacu pada kebijakan konsep
pembaharuan agraria dan paradigma baru tentang sistem ekonomi kerakyatan,
demokratis dan partisipatif. Di mana berhasil sebuah kebijakan sistem pertanahan
nasional ditentukan dari kemauan kuat politik
pemerintah berkuasa.
Dengan banyaknya kasus konflik
tanah seperti di
Mesuji, Papua, Riau, Sulsel dan Bima.
Ini sebagai sinyal bahwa di dalam konflik agraria tersebut disebabkan oleh
ketidak-mampuan negara melaksanakan tugas konstitusionalnya menghadirkan
keadilan agraria bagi rakyatnya. Harapan
kita ada dua, pertama, DPP PGK mendorong
dan memberi kontribusi pada pihak terkait atas terwujudnya reformasi agraria ini.
Kedua, menyerukan pada masyarakat
bahwa dalam proses terciptanya kepemimpinan nasional 2014 perlu sosok yang mampu
menjalankan landreform seutuhnya. Semoga.
Yakin Usaha Berhasil (YAKUSA). Amien.
Habibi Mahabbah,
Ketua Dewan Pimpinan Pusat
Perhimpunan Gerakan Keadilan (DPP PGK) Bidang Agraria
Posting Komentar